Sejarah Berkembangnya Ilmu Pengendalian Hama (Pest Control)
Penilaian bahwa hama merugikan masyarakat sebenarnya sudah ada sejak manusia mulai bertani dan beternak pada masa prasejarah, sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Berikut penjelasannya dalam beberapa periode :
1. Zaman Prasejarah (Awal Pertanian – ±10.000 SM)
Ketika manusia mulai bercocok tanam, mereka menyimpan hasil panen seperti gandum dan padi. Pada masa inilah tikus, serangga, dan burung mulai dianggap sebagai hama karena memakan hasil panen, merusak tanaman di ladang, dan mencuri simpanan makanan di tempat penyimpanan.
Hama pertama yang dicatat merugikan adalah tikus dan belalang.
2. Peradaban Kuno (Mesir, Mesopotamia, Tiongkok, Yunani – ±3000–300 SM)
Dalam catatan sejarah :
- Mesir Kuno mencatat wabah belalang yang merusak ladang gandum
- Tiongkok Kuno memiliki catatan kerajaan tentang strategi mengusir serangga perusak padi
- Yunani Kuno menyebutkan masyarakat melakukan ritual agar ladang mereka tidak diserang hama
Pada masa ini, masyarakat sudah menganggap hama sebagai ancaman ekonomi dan pangan.
3. Abad Pertengahan (500–1500 M)
Hama semakin dianggap merugikan karena :
- populasi manusia meningkat
- kebutuhan pangan bertambah
- penyimpanan makanan masih sederhana
Tikus pada masa ini juga menjadi penyebab penyebaran wabah pes (Black Death) yang menewaskan jutaan orang di Eropa. Sejak saat itu, tikus mulai dianggap hama kesehatan yang sangat berbahaya.
4. Era Revolusi Industri (1700–1900 M)
Dengan munculnya perkotaan dan industri :
- Kecoa
- Lalat
- dan Tikus
menjadi masalah besar di area padat penduduk. Di sinilah mulai berkembang ilmu pengendalian hama (pest control).
5. Zaman Modern
Kini, hama dianggap merugikan bukan hanya karena merusak tanaman dan makanan, tetapi
juga karena :
- menyebarkan penyakit (DBD, malaria, leptospirosis)
- merusak barang elektronik (rayap, tikus)
- mengganggu kebersihan lingkungan
Pemerintah Indonesia pun membuat peraturan dan regulasi terkait penanggulangan bahaya yang disebabkan oleh Hama seperti Nyamuk DBD dan Rayap.
Berikut beberapa peraturan dan regulasi pemerintah di Indonesia (pusat maupun daerah) yang mengatur penanggulangan bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD), serta bagaimana peraturan-peraturan itu diterapkan.
Peraturan Pemerintah terkait DBD
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 – “Tentang Penanggulangan Penyakit Menular”
Peraturan ini menjadi acuan nasional untuk penanggulangan penyakit menular, termasuk DBD. Melalui regulasi ini, seluruh fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, institusi kesehatan lainnya diwajibkan ikut serta menjaga lingkungan agar terbebas dari jentik dan populasi nyamuk pembawa virus dengue. Dengan undang-undang ini, penanggulangan DBD tidak hanya menjadi tanggung jawab individu/masyarakat, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sistem kesehatan nasional.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2007 – “Tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue”
Perda ini dibuat karena DKI Jakarta merupakan daerah endemis DBD dan dipandang perlu penanganan terpadu. Aturan ini menetapkan kewajiban pemerintah daerah dan masyarakat untuk ikut aktif dalam pencegahan dan pengendalian DBD, melalui upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3M / 3M Plus (menguras, menutup, mengubur/membuang genangan air, menutup tempat penampungan, dan lainnya). Pemeriksaan jentik berkala (PJB) oleh petugas dan/atau masyarakat (misalnya kader “jumantik”). Surveilans dan sosialisasi kesehatan terkait DBD. Penanggulangan kasus DBD, termasuk pengendalian wabah/KLB bila terjadi lonjakan kasus. Perda ini juga mengatur sanksi bagi warga atau pihak yang tidak menjalankan kewajiban PSN / pencegahan. Perda berlaku sejak pengundangan 11 Juli 2007.
Peraturan Daerah / Peraturan Lokal di Daerah lain
Banyak kabupaten/kota di Indonesia yang membuat peraturan daerah (Perda) setara untuk pengendalian DBD — misalnya aturan kota/kabupaten tentang pengendalian DBD, PSN, pelibatan masyarakat, dan penanganan jika terjadi KLB.
Contohnya, di Kota Semarang ada Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD.
Bagaimana Regulasi Ini Bekerja & Siapa yang Terlibat?
- Pemerintah pusat (melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia — Kemenkes) menetapkan kerangka umum termasuk manajemen vektor, pedoman pelayanan kesehatan, dan kewajiban fasilitas kesehatan dalam penanggulangan DBD.
- Pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) menerbitkan Perda/Perwali/Perbup sesuai kondisi lokal — karena risiko dan karakteristik lingkungan bisa berbeda-beda.
- Masyarakat juga punya peran aktif, misalnya lewat gerakan PSN 3M Plus, pemeriksaan jentik secara rutin (bisa dilakukan oleh kader “jumantik”), ikut melaporkan bila menemukan sarang nyamuk, dan menjaga lingkungan tetap bersih.
- Fasilitas kesehatan wajib mendeteksi, melaporkan, serta menangani kasus DBD sesuai protokol — termasuk pedoman medis ketika merawat pasien (misalnya ada pedoman tata laksana untuk kasus dengue pada anak dan remaja).
Tujuan dan Manfaat Peraturan
- Mencegah penyebaran DBD secara sistematis — memutus rantai penularan dengan menarget vektor (nyamuk & jentik) secara terpadu.
- Mengurangi angka sakit dan kematian akibat DBD, serta mencegah wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB).
- Menekan beban layanan kesehatan dengan tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi lonjakan kasus mendadak.
- Mengajak partisipasi masyarakat — bukan hanya “tanggung jawab pemerintah”, tapi kolaborasi semua pihak.
- Memberi dasar hukum bagi upaya pengendalian dan sanksi bagi yang melanggar (misalnya tidak menjaga kebersihan lingkungan, membiarkan tempat berkembang nyamuk).
Tantangan Pelaksanaan & Evaluasi
Banyak studi menunjukkan bahwa meskipun peraturan sudah ada — implementasinya kadang belum optimal. Beberapa kendala misalnya: kurangnya kesadaran masyarakat, terbatasnya sumber daya (petugas, dana, sarana), koordinasi antar instansi yang belum baik, dan kurangnya sosialisasi. Di beberapa daerah, regulasi lokal tetap penting karena karakteristik lingkungan berbeda — tetapi itu berarti konsistensi penerapan menjadi tantangan.
Regulasi & Standar Resmi untuk Pengendalian Rayap di Indonesia
SNI 2404:2015
Ini adalah standar nasional yang berjudul “Tata Cara Pengendalian Serangan Rayap Tanah pada Bangunan Rumah dan Gedung Pra-Konstruksi”. Standar ini memberikan acuan teknis bagi pembangunan awal agar bangunan terlindungi dari serangan rayap tanah.
Cakupannya meliputi persyaratan umum, perancangan, pelaksanaan perlakuan tanah (soil treatment / termitisida), pemeliharaan selama masa garansi, serta pengawasan terhadap dampak lingkungan/pencemaran.
SNI 2405:2015
Standar ini berjudul “Tata Cara Pengendalian Serangan Rayap Tanah pada Bangunan Rumah dan Gedung Paska-Konstruksi”. Ini dipakai jika bangunan sudah jadi (atau sudah melewati konstruksi) dan mengatur tata cara penanggulangan rayap pada bangunan yang sudah berdiri. Termasuk di dalamnya pemeriksaan (inspeksi), perencanaan penanggulangan, teknik aplikasi (misalnya injeksi, umpan, perawatan kimia), pengawasan, dan pemeliharaan/garansi setelah perlakuan.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 35 Tahun 2013 — (khusus wilayah DKI Jakarta)
Pergub ini mengatur pedoman penanggulangan bahaya rayap pada gedung milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Artinya, bangunan pemerintah — seperti kantor, sekolah, fasilitas publik — harus mengikuti pedoman ini. Dalam regulasi ini, penanggulangan rayap dilakukan dalam dua tahap: pra-konstruksi (pencegahan sebelum bangunan dibangun) dan paska konstruksi (bila bangunan sudah berdiri). Penggunaan “termitsida” (insektisida khusus rayap) diatur sehingga harus sesuai dengan regulasi terkait pestisida dan mendapatkan izin dari instansi berwenang.
Regulasi terkait Pestisida / Pengendalian Hama / Kesehatan Lingkungan
Karena pengendalian rayap kadang melibatkan penggunaan bahan kimia (termitisida), maka pengaturan mengenai penggunaan pestisida dan izin operasional bagi jasa pengendalian hama juga relevan. Misalnya regulasi tentang peredaran dan penggunaan pestisida (untuk keamanan, penyimpanan, izin, dll).
Hal ini memastikan bahwa pengendalian rayap harus dilakukan oleh perusahaan / penyedia jasa yang legal dan memiliki izin, agar prosedur aman dan sesuai regulasi.
Kenyataan : Tidak Ada Regulasi Nasional Tunggal “Anti-Rayap” yang Mengikat untuk Semua Rumah/Publik
Meskipun ada SNI dan beberapa regulasi daerah
Standar SNI hanya bersifat norma/standar teknis — artinya tidak otomatis menjadi hukum yang mewajibkan pemilik rumah swasta. SNI lebih sebagai pedoman teknis agar bangunan aman dari rayap.
Regulasi yang bersifat hukum (misalnya Pergub) tampaknya terbatas pada gedung milik pemerintah (seperti di DKI Jakarta) — bukan untuk semua bangunan rumah milik pribadi.
Untuk bangunan privat atau rumah tinggal, penerapan pengendalian rayap umumnya bersifat opsional atau berdasarkan kesadaran pemilik / kontraktor / developer.
Beberapa kalangan (misalnya perusahaan jasa pengendalian hama) bahkan menyatakan bahwa regulasi perizinan usaha “terkendala” dan belum secara sempurna mengakomodasi bisnis “termite-control.”
Implikasi bagi Masyarakat / Pemilik Rumah
- Jika kamu membangun rumah baru, penting mempertimbangkan penerapan metode sesuai SNI 2404:2015 — ini membantu pencegahan rayap sejak awal konstruksi (pra-konstruksi).
- Jika rumah sudah berdiri, dan curiga ada rayap atau ingin pencegahan, bisa memakai pedoman dari SNI 2405:2015 — dengan teknik injeksi/umpan/soil treatment sesuai kondisi.
- Bila kamu tinggal di wilayah dengan regulasi lokal (misalnya gedung milik pemerintah, apartemen, perumahan dengan pengelola), mungkin ada kewajiban mengikuti standar lokal (seperti di DKI Jakarta).
- Pastikan perusahaan jasa pengendalian rayap memiliki izin resmi dan menggunakan termitisida teregistrasi — ini terkait keamanan, kesehatan, dan legitimasi jasa.
Indonesia ada regulasi dan standar teknis untuk penanggulangan rayap (SNI 2404:2015 dan SNI 2405:2015), serta regulasi lokal seperti Pergub DKI Jakarta No. 35/2013 untuk bangunan milik pemerintah. Namun regulasi tersebut biasanya berupa standar teknis atau pedoman — bukan hukum nasional yang mewajibkan semua pemilik rumah. Sehingga penerapan pengendalian rayap terhadap rumah pribadi banyak bergantung pada kesadaran pemilik, kebijakan developer, atau pengelola bangunan.



Posting Komentar untuk "Sejarah Berkembangnya Ilmu Pengendalian Hama (Pest Control)"